Sayang Rupiah Libur, Mata Uang Asia Hari Ini adalah Bergairah Lawan Dolar Negeri Paman Sam

Sayang Rupiah Libur, Mata Uang Asia Hari Hal ini adalah Bergairah Lawan Dolar Negeri Paman Sam
March 11, 2024

propertyindonesia

Jakarta – Mayoritas mata uang Asia terpantau menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Mulai Pekan (11/3/2024), meskipun ada sedikit kabar kurang menggembirakan dari Amerika Serikat (AS) kemudian China.

Menurut data Refinitiv per pukul 13:00 WIB, dari 10 mata uang Asia, terpantau enam berhasil menguat, sedangkan sisanya yakni empat mata uang melemah.

Dari mata uang Asia yang dimaksud mengalami penguatan, won Korea Selatan menjadi yang tersebut paling kencang penguatannya pada hari ini. Sedangkan Dari mata uang Asia yang dimaksud mengalami pelemahan, baht Thailand menjadi yang paling besar koreksinya.

Sementara untuk perdagangan mata uang rupiah Indonesia pada hari ini tidaklah dibuka akibat sedang libur Hari Nyepi.

Berikut perkembangan kurs dolar Negeri Paman Sam terhadap mata uang Kontinen Kuning (Asia) pada perdagangan hari ini.

Ada sedikit kabar kurang menggembirakan dari AS, di tempat mana data tenaga kerja Negeri Paman Sam kembali menunjukkan tanda-tanda belum mendingin.

Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat pada hari terakhir pekan lalu melaporkan Non-farm Payrolls(NFP) di tempat Amerika Serikat naik 275.000 pada Februari lalu, dari sebelumnya sebesar 229.000 pada Januari lalu.

Rincian lain dari laporan yang dimaksud menunjukkan bahwa tingkat pengangguran naik ke 3,9% pada bulan lalu, dari sebelumnya sebesar 3,7% pada Januari 2024.

Sementara tingkat partisipasi angkatan kerja tetap memperlihatkan stabil dalam 62,5%. Inflasi upah, yang digunakan diukur dengan pembaharuan pendapatan rata-rata per jam, naik 4,3% pada basis tahunan per Februari 2024, pada bawah ekspektasi lingkungan ekonomi dan juga bilangan Januari 4,4%.

Data yang dimaksud membuktikan bahwa tenaga kerja di area Negeri Paman Sam belum ada tanda-tanda mendingin, meskipun beberapa data tenaga kerja lainnya cenderung menurun.

Data NFP yang masih cukup panas menyebabkan lingkungan ekonomi khawatir bahwa pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) dapat mundur kembali, walau The Fed telah dilakukan mengindikasikan akan memangkas suku bunga acuannya tahun ini. Namun, mereka belum dapat menegaskan bulan kapan pemangkasan dapat dimulai.

Menurut alat FedWatch, menyiratkan sekitar 30% kemungkinan pemotongan suku bunga The Fed di tempat bulan Mei 2024 kemudian 70% untuk langkah pertama pada Juni 2024.

Di lain sisi, kabar kurang menggembirakan juga datang dari China, di tempat mana pemuaian konsumen (consumer price index/CPI) China hanya sekali sedikit naik pada Februari lalu.

Data yang digunakan dirilis pada akhir pekan lalu menunjukkan CPI China pada bulan lalu naik menjadi 0,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) kemudian bertambah 1% secara bulanan (month-to-month/mtm), dari sebelumnya pada Januari lalu yang digunakan kontraksi 0,8% (yoy) serta bertambah 0,3% (mtm).

Kenaikan sedikit kenaikan harga China pada bulan lalu diuntungkan oleh peningkatan belanja selama liburan Tahun Baru Imlek.

Namun, indeks biaya produsen (producer price index/PPI) China menyusut lebih besar besar dari perkiraan selama periode tersebut, alias PPI China masih mengalami deflasi yakni menjadi kontraksi 2,7% pada Februari lalu, menandakan bahwa penggerak sektor ekonomi terbesar China sebagian besar masih berada di area bawah tekanan.

Meski CPI China naik sedikit kemudian PPI China masih mengalami deflasi, tetapi hal ini dapat memberikan sedikit kelonggaran perekonomian China yang digunakan sedang bergulat dengan lemahnya sentimen konsumen.

“Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa deflasi pada RRT sudah pernah berakhir,” kata Zhiwei Zhang, Presiden dan juga Kepala Ekonom di dalam Pinpoint Asset Management.

Dia mengatakan, permintaan domestik dalam China masih cukup lemah, sementara transaksi jual beli properti apartemen-apartemen baru belum stabil.

Risiko deflasi akibat permintaan yang terus melemah dinilai tetap memperlihatkan menjadi salah satu hambatan utama pada peningkatan China secara keseluruhan.

“Kami hanya saja memperkirakan pemulihan moderat pada inflasi CPI dan PPI meskipun target pemuaian CPI sebesar 3%, lalu penurunan properti yang lebih besar di dapat memunculkan risiko deflasi yang digunakan lebih lanjut besar,” kata para ekonom di tempat UBS.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Artikel Selanjutnya Rupiah Hari Ini adalah Tangguh! Ditutup Menguat Lebih dari 1%

Tags: , , , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *